Kamis, 14 Juni 2012

SUNAN AMPEL (seri 3)

SUNAN Ampel benar-benar sudah diyakini oleh semua peneliti sejarah, “bukan orang Jawa”. Ia adalah pendatang dari Campa atau Cempa atau Jeumpa. Masih belum jelas, di mana tepatnya. Bahkan juga disebutkan bahwa Sunan Ampel, berdarah Arab dan keturunan Cina.
Selain itu semua, ada lagi kisah tentang nasab atau garis keturunan Sunan Ampel. Dalam Babad Tanah Jawi- Galuh Mataram, versi Soewito Santoso, menegaskan bahwa Sunan Ampel berasal dari Arab dan masih keturunan Nabi Muhammad SAW (Shalallahu ‘Alaihi Wasallam).
Azzumardi Azra dalam bukunya “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, 1994,halaman 30, bahwa ayah Sunan Ampel orang Arab bukan sekadar “tutur tinular”, melainkan ada beberapa sumber tertulis yang mendukung. Pendapat umum tersebut juga dikuatkan oleh keterangan GWJ Drewes di depan rektor dan para dosen IAIN Kalijaga Jogjakarta, 21 November 1971, sebagaimana diberitakan pada Bulletin Antara, terbitan LKBN Antara, edisi pagi, 22 November 1971, halaman 1.
Salah satu bangsa di dunia yang senang dan paling rajin mencatat nasab dan silsilah adalah Bangsa Arab, terutama kaum Alawiyyin. Ini karena ciri khas kaum ini yang bangga dan hormat terhadap orang tua dan leluhurnya. Kabilah Arab menyusun cacatan silsilah ini dengan rapi. Syekh Al-Fadil wa al-Tahrir al-Kamil Abi al-Faus al-Bagdadi yang biasa disebut al-Syuwaidiy dalam bukunya: “Sabaik al-Zahab fi Ma’rifati Qabail al-Arab, menulis tentang silsilah dan pecahan kabilah di Arab perantau sampai ke India.
Dalam kitab itu juga diuraikan tentang garis keturunan Nabi Muhammad SAW ke Siti Fatimah yang menjadi penyebar agama Islam sampai ke Timur Jauh, yakni: India, Kamboja, Siam, Annam, Malaysia dan Indonesia.
Dalam beberapa silsilah Nabi Muhammad yang kemudian sampai ke Sunan Ampel, terungkap pada Serat Babad Para Wali Tanah Jawa sebagai versi pertama, silsilah dari 1’Nabi Muhammad terus ke generasi 2.Sayyidah Siti Fatimah az-Zahra + Sayyidina Ali bin Abi Thalib, terus ke 3.Husein — 4.Ali Zainal Abidin — 5.Muhammad al-Baqir — 6.Ja’far Shadiq — 7.Ali — 8.Muhammad — 9.Isa — 10.Ahmad Muhajir — 11.Ubaidullah — 12.Alwi — 13.Muhammad — Alwi — Ali Khaliq — Muhammad — Alwi — Abdul Malik — Abdullah Khan — Ahmad Jamaluddin — Jamaluddin Akbar — Ibrahim dan terus ke Raden Rahmat.
Versi kedua, dari Nabi Muhammad terus ke Siti Fathimah az-Zahra + Sayyidina Ali bin Abi Thalib — S.Husain — Ali Zainal Abidin (wali di Mindanau, Filipina) — Zainal Alim — Zainal Kabir — Zainal Husain — Jumadil Kubra — Ibrahim Asmara dan Raden Rahmat.
Versi ketiga, urutan nasab Syarif Muhammad bin Ali Zainal Abidin, yaitu: dari 1.Nabi Muhammad SAW terus ke 2.Siti Fathimah az-Zahra + Sayyidina Ali bin Abi Thalib — 3.Husain – 4.Ali Zainal Abidin — 5.Muhammad al Baqir — 6.Ja’far Shadiq — 7.Ali — 8.Muhammad — 9.Isa — 10.Ahmad Muhajir — Ubaidullah —Alwi — Abdurrahman — Ahmad — Abdullah — Ali — Muhammad — Abdullah — Muhammad — Ali — Nuhammad — Husen — Ali al Baqir — Ali Zainal Abidin — Muhammad Abdul Malik dan Raden Rahmat.
Versi keempat, berdasarkan silsilah Sunan Giri, sebagai berikut: dari Nabi Muhammad SAW ke Siti Fathimah az-Zahra + Sayyidina Ali bin Abi Thalib – Husain — Ali Zainal Abidin – Muhammad al Baqir — Ja’far Shadiq —Ali — Muhammad — Isa — Ahmad Muhajir — Ubaidullah —Alwi — Muhammad — Alwi — Ali Khaliq — Muhamad — Alwi — Ibrahim — Maulana Ishaq — Raden Rahmat.
Dari empat versi di atas, versi pertama, apabila diperhatikan dari nama, ada perbedaan sebutan nama-nama psds nomor urut keturunannya.
Silsilah lainnya ada empat versi lagi, semua tentang garis nasab Raden Rahmat atau Sunan Ampel dari Nabi Muhammad melalui Siti Fatimah.
Kendati dari berbagai versi itu ada perbedaan, namun pada akhirnya ada kesamaan, yakni keturunan terdekat Raden Rahmat adalah Ibrahim.
Gelar Raden
Biasanya, kalau penyebar agama Islam berasal dari Arab, ia sering dipanggil syekh. Sebagaimana panggilan untuk ulama besar di Sumatera, terutama di Minangkabau atau Sumatera Barat. Tetapi itu sama sekali tidak, pada Sunan Ampel dan beberapa sunan lainnya. Kecuali ada sebutan syekh untuk Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Syekh Maulana Yusuf.
Berbagai sumber dan babad, semuanya menyatakan Sunan Ampel pada masa kecilnya bernama Rahmat.
Dalam riwayat berikutnya, setelah menempuh perjalanan panjang dengan menyeberangi samudera dan lautan, Rahmat datang pusat kerajaan Majapahit bersama adiknya Raja Pandhita alias Santri dan anak pamannya bernama Beureurah atau Burerah. Paman Rahmat atau ayah Burerah adalah Raja Cempa. Di keraton Majapahit mereka bertiga diterima sebagai keluarga kerajaan. Sebab, Rahmat dan Raja Pandhita alias Santri adalah kemenakan dari permaisuri Prabu Brawijaya yang bernama Dewi Murtiningrum atau dalam Babad Tanah Jawi – Galuh Mataram disebut Ratu Darawati.
Nah, saat berada di Majapahit inilah, mereka bertiga memperolah gelar “raden”, sehingga Rahmat menjadi Raden Rahmat, Raja Pandhita alias Santri menjadi Raden Santri dan Beureurah menjadi Raden Burerah.
Kemudian, Raden Rahmat sebagai ulama dan oleh Prabu Brawijaya diberi kesempatan untuk menguasai suatu wilayah di Surabaya, tepatnya di Ampel. Tidak hanya itu, dalam buku Oud Soerabaia (1931), karangan G.H.von Faber, halaman 288, disebutkan bahwa Raden Rahmat pindah bersama 3.000 keluarga pengikutnya (drieduizend huisgezinnen).
Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java (1817), halaman 117 menulis kepindahan Raden Rahmad dari keraton Majapahit ke Ampel disertai 3.000 keluarga (three thousand families). Sementara itu menurut Babad Ngampel Denta, jumlah orang yang boyongan bersama Raden Rahmat ke Ampel Surabaya sebanyak 800 keluarga (sun paringi loenggoeh domas). “Domas” menurut S.Prawiroatmodjo dalam buku Bausastra Jawa – Indonesia (1981) artinya delapan ratus.
Jadi, pemberian gelar raden untuk Rahmat sehingga bernama Raden Rahmat, karena ia dianggap sebagai bangsawan dan perlu mendapat penghormatan. Bisa juga, karena dia sebelumnya bergelar asy-Syarif atau as-Syayyid yang merupakan ningrat Arab, tulis G.F.Pijper dalam “Beberapa Studi Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950” terjemahan Tudjimah dan Yessi Augusdin (1984).
Berdasarkan padanan itu, lalu disejajarkanlah Rahmat dengan keturunan raja-raja Jawa, ia diberi gelar raden. Dengan adanya gelar raden itu, ia tidak lagi menjadi orang asing di sini. Apalagi dalam riwayat berikutnya, Raden Rahmat kawin dengan pribumi dan beranak-pinak sebagai “Orang Jawa”.
Sunan dan Wali
Setelah masa lalunya akrab dengan nama Raden Rahmat, kiprahnya dalam menyebarkan agama Islam dari Surabaya, terus berkembang ke seluruh Tanah Jawa. Raden Rahmat tidak sendiri, ia dibantu murid-murid dan anak-anaknya.
Sebagai guru besar agama Islam ia kemudian mendapat julukan “Suhun”. Dalam buku Javaansch-Nedherlansch Handwooenboek (1901) karya J.F.C Gerieke dan T.Roorda, disebutkan bahwa Suhun merupakan kata dasar dari Sunan. Nah, kemudian berubahlah panggilan suhun menjadi sunan. Karena menetap di Ampel, maka Raden Rahmat kemudian popular dengan sapaan Sunan Ampel.
Kata “wali”, berasal dari kalimat waliyullah atau wali Allah. Dalam tradisi Jawa, terutama kalangan orang-orang Islam, tulis Drs.H.Syamsudduha dalam Jejak Kanjeng Sunan (1999), “wali” tidak hanya sekedar sebutan, tetapi ada “roh” atau “geest” di dalamnya.
Sebutan wali di situ tidak bisa dilepaskan dari Al Quran, seperti terdapat dalam Surat Yunus ayat 62-64. Ayat itu mengandung makna wali Allah, ialah orang yang karena iman dan taqwanya tidak merasa takut, tidak mengenal sedih, selalu gembira atau senantiasa optimistik dalam perjuangan, karena yakin dengan janji Allah yang akan memberi kemenangan dan keberhasilan.
Perkembangan zaman dan semakin tumbuhnya kehidupan manusia, maka penyebaran Islam di Tanah Jawa semakin nyata. Sunan Ampel tidak lagi sendiri, tetapi ada delapan lagi penyebar agama Islam yang juga memperoleh gelar yang sama. Dari delapan orang yang bergelar Sunan, satu di antaranya dipanggil Syekh.
Sunan Ampel dengan tujuh Sunan dan satu Syekh ini disebut sebagai Wali yang sembilan atau Wali Sanga atau Wali Songo. Mereka adalah Sunan Ampel di Surabaya, Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri di Gresik, Sunan Drajat di Lamongan, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Kalijaga di Demak, Sunan Muria di Gunung Muria, Sunan Kudus di Kudus dan Sunan Gunung Jati di Cirebon.
Museum Wali Songo
Masyarakat Surabaya patut bangga terhadap keberadaan Sunan Ampel. Betapa tidak, sebab dengan adanya kiprah masa lalu Sunan Ampel itu, mengangkat derajat Surabaya sebagai “Kota Relegius”. Kota yang peduli terhadap agama, khususnya Islam. Berkat kiprah Sunan Ampel dengan segala peninggalan sejarah yang dibuatnya, kini Surabaya dapat menjadi pusat sejarah Islam di tanah Jawa.
Sunan Ampel sebagai sunan yang “dituakan” di antara delapan Wali Songo lainnya, menjadi Surabaya sebagai pangkal kegiatan ziarah “Wali Songo”. Dan sudah umum, sebelum melakukan ziarah ke makam-makam Wali Songo, Masjid Agung Ampel dan makam Sunan Ampel dijadikan tempat start. Dari sini baru kemudian menuju ke Gresik, Lamongan, Tuban, Gunung Muria, Kudus, Demak dan finish di Cirebon.
Biasanya, kalau kita akan melakukan perjalanan jauh, maka di awal perjalanan kita membuat perencanaan tentang tujuan selanjutnya. Saat berada di tempat pemberangkatan awal, kita wajib mengetahui peta yang akan dituju kemudian. Artinya, untuk ziarah Wali Songo, ketika masih berada di strat makam Sunan Ampel, maka rencana kunjungan ke delapan wali lainnya sudah dipersiapkan. Bahkan, gambaran tempat yang akan dituju sudah ada di angan-angan.
Angan-angan tentang Wali Songo itu harus berada di Surabaya, bentuk angan-angan itu adalah suatu tempat yang mampu memberi gambaran ke depan. Jadi, apa yang dikatakan mantan Kepala Dinas Pariwisata Kota Surabaya, Drs.H.Muhtadi,MM sangat tepat.
Pemerintah Kota Surabaya, harus dapat menciptakan gambaran keseluruhan tentang Wali Songo itu dalam bentuk “Museum Wali Songo”. Dengan adanya gambaran yang diperagakan dan diinformasikan dari Museum Wali Songo, maka para wisatawan atau peziarah memperoleh bekal yang sangat berguna.
Museum Wali Songo di Surabaya harus mampu memberi gambaran masing-masing aktivitas ke sembilan wali itu.
Selain kiprah Sunan Ampel yang sudah banyak diungkap, di museum itu perlu digambarkan secara jelas tentang Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri di Gresik. Begitu pula dengan Sunan Drajat, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan kalijaga dan Sunan Gunung Jati.
Tentunya, apa yang digagas Muhtadi itu layak memperoleh dukungan dari petinggi Kota Surabaya, yakni Walikota Surabaya bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya, perguruan tinggi serta masyarakat pencinta sejarah. Dengan kebersamaan semua pihak, insya Allah, gagasan tentang pendirian Museum Wali Songo di Surabaya dapat diwujudkan.

SUNAN AMPEL (seri 2)

Masyarakat sejarah sudah memastikan dan meyakini, bahwa Sunan Ampel memang bukan asli dari Jawa. Ada yang menyebut berasal dari Campa, Cina Selatan dan ada pula yang menyatakan berasal dari Arab. Kendati demikian, pada saat peringatan HUT ke-710 Kota Surabaya, ada peristiwa bersejarah yang terjadi Rabu, 28 Mei 2003. Masjid Muhammad Cheng Ho di Jalan Gading 2 Surabaya diresmikan oleh Menteri Agama RI. Saat upacara peresmian itu dari “bisik-bisik” terungkap kisah lain tentang asal-usul Sunan Ampel. Ia dikatakan berasal dari Cina atau keturunan Tionghoa.
 Sebelumnya diungkapkan asal-usul Sunan Ampel berdasarkan versi Babad Para Wali, Babad Tanah Jawi dan Babad Ngapeldenta. Ada lagi versi lain, versi “Babad Risakipun Majapahit Wiwit Jumenengipun Prabu Majapahit Wekasan Dumugi Demak Pungkasan” yang manuskrip aslinya disimpan di Reksopustoko, Solo.
Berbeda dengan versi sebelumnya, ada lagi versi lain tentang Sunan Ampel, versi Kronik Sam Po Kong, Semarang. Parlindungan dalam bukunya “Tuanku Rao”, terbitan Tanjung Pengharapan, menulis, bahwa Sunan Ampel keturunan Tionghoa atau Cina. Nama asli Sunan Ampel atau Raden Rahmat adalah Bong Swie Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng dari Campa. Tahun 1447, Bong Swie Hoo di Tuban nikah dengan puteri Haji Gan Eng Tju yang pupular dengan panggilan Nyi Ageng Manila.
Sedangkan Slamet Muljana dalam buku “Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara” terbitan Bhatara, Jakarta, 1968 halaman 103, mengidentifikasikan Haji Gan Eng Tju sebagai Arya Teja.
Berita tentang orang-orang Cina Muslim yang menetap di Jawa, pertama kali diberitakan oleh Ma Huan. Ia berkunjung ke Jawa tahun 1407 dalam suatu rombongan utusan kaisar Tiongkok ke Asia Tenggara. Kisah ini dibukukan dengan judul Yeng-yei Sheng-lan (Catatan umum tentang pantai dan samudera raya).
Berdasarkan data ini, diungkap bahwa Sunan Ampel berdarah Cina, maka dugaan tersebut dikuatkan oleh gambar Sunan Ampel yang disimpan di Amsterdam. Gambar itu ditemukan oleh Lembaga Riset Islam Pesantren Luhur Malang, direproduksi oleh Panitia Lustrum ke-2 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, 5 Juli 1975.
Kunjungan Cheng Ho ke Asia Tenggara, diduga sebagai salah satu sebab banyaknya saudagar Cina berimigrasi secara besar-besaran ke berbagai negeri di Asia Tenggara ini, termasuk Indonesia. Di antaranya menetap di Surabaya.
Dua peneliti Bangsa Belanda, De Graaf dan Pigeaud menulis, masyarakat Islam yang ada di Gresik dan Surabaya, banyak yang berasal dari Cina, khususnya Hindia Belakang atau Indo Cina. Nama wilayah yang terkenal waktu itu adalah Campa. Pada waktu dinasti Yuan dan Ming berkuasa di Cina, Campa berada di Provinsi Yunnan. Penguasa terkenal di wilayah ini, tulis Drs.H.Sjamsudduha dalam buku Jejak Kanjeng Sunan, Perjuangan Walisongo (1999) adalah Say Dian Chih.
Campa tahun 1471 dikuasai oleh orang Annam atau Vietnam, kecuali satu daerah yang bernama Pandurangga. Dalam ekspedisinya, Cheng Ho juga sering kali singgah di Campa. Tetapi, Buya Hamka dalam bukunya “Sejarah Umat Islam” penerbit Nusantara, Bukittinggi, menegaskan bahwa Sunan Ampel atau Raden Rahmat bukan berasal dari Campa, Indo Cina, melainkan dari Cempa atau “Jeumpa” di Aceh.
Hingga sekarang “Jeumpa” itu masih ada di Aceh, sebagai nama kecamatan dengan ibukota Bireun, Kabupaten Aceh Utara.
Sebenarnya kisah dan cerita tentang Sunan Ampel ini masih banyak, tetapi tidak sama. Masing-masing punya versi sesuai dengan sumber yang diteliti. Kendati demikian, sebagai obyek wisata suci (ziarah), sangat layak masalah Sunan Ampel ini ditelusuri lebih teliti lagi.
Peninggalan Sunan Ampel terdapat di kawasan Ampel, selain ada masjid Agung dan komplek makam Sunan Ampel, juga terdapat puluhan makam pengikutnya.
Kembang Kuning
Salah satu peninggalan lain Sunan Ampel adalah Masjid Rahmat di daerah Kembang Kuning, Surabaya. Konon ceritanya, saat Raden Rahmat mendapat restu dari Prabu Brawijaya untuk tinggal di Ngampeldenta, Surabaya. Sebelum sampai di tujuan, ia sempat beristirahat dan tinggal di daerah Kembang Kuning.
Selama berada di Kembang Kuning, Raden Rahmat mendirikan rumah dan masjid. Ada yang mengindentikkan perjalanan Raden Rahmat dari pusat kerajaan Majapahit ke Ngampeldenda, seperti Nabi Muhammad hijrah dari Mekah ke Madinah. Di mana, Rasulullah Muhammad SAW, sebelum sampai di kota Madinah berhenti dulu dan tinggal di Quba. Di kota yang jaraknya sekitar 5 kilometer dari Madinah itu, nabi membangun masjid pertama, yakni Masjid Quba.
Sedangkan Raden Rahmat sebelum sampai di Ngampeldenta, singgah dan membangun masjid di Kembang Kuning. Sampai sekarang masjid peninggalan Raden Rahmat itu masih ada di Kembang Kuning yang diberi nama Masjid Rahmat. Letaknya, juga sekitar 5 kilometer dari daerah Ampel.
Tidak hanya itu, di Kembang Kuning ini menurut naskah Badu Wanar dan naskah Drajad, tarikh Auliya, halaman 6, disebutkan bahwa Raden Rahmat sempat menikah dan dua anaknya dari perkawinan itu lahir di sini. Keduanya puteri, yakni: Dewi Mustasiyah dan Dewi Murtasimah.
Versi lain menyebut, waktu itu Raden Rahmat dengan isteri pertama mempunyai delapan orang anak, yaitu: Sunan Bonang, Sakban Gunung Muria alias Pangeran Sobo, Maulana Joko Lor Sunan Kudus, Dewi Murtasiyah, Nyi Ageng Maloko, Maulana Zainuddin Penghulu Demak, Maulana Hasyim Sunan Drajad dan Maulana Abdul Jalil alias Asmara Jepara.
Satu versi lagi menyatakan, bahwa waktu bersiteri dengan wanita dari Kembang Kuning, Raden Rahmat mengumpulkan dua isterinya dalam satu rumah. Dengan dua isteri itu Raden Rahmat mempunyai tujuh orang anak, yakni: Siti Murtasimah, Siti Syari’ah, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Siti Muthmainnah, Siti Murtasiyah dan Siti Hafsyah.
Kecuali versi-versi di atas, ada pula versi lain yang mengungkap Raden Rahmat mempunyai tiga isteri, masing-masing: Nyi Ageng Manila, Nyi Ageng Bela (kemenakan Arya Teja) dan seorang lagi tidak diketahui namanya. Dari isteri pertama punya empat anak, yaitu: Sarifuddin, Makdum Ibrahim, Nyi Ageng Maloko, dan seorang puteri yang dinikahkan dengan Sunan Kalijaga. Dengan isteri kedua, punya dua anak: Hasyim Syahib Drajad dan Muthmainnah. Dari isteri ketiga, empat orang anak, yakni: Murtosiyah, Ratu Asyiqah, Alawiyah (Ibu Danang) dan Maulana Hasanuddin.
Mbah Bungkul
Warga Kota Surabaya pasti mengenal nama Mbah Bungkul. Makamnya terletak di Jalan Raya Darmo, tepatnya di Jalan Progo. Di sana ada tanah lapang yang lazim disebut Taman Bungkul. Sedangkan makam Mbah Bungkul berada di bagian timur taman yang dipagari, serta terlindung di balik tembok. Selain makam Mbah Bungkul, di sana juga ada beberapa makam keluarga dan pengikutnya.
Para penziarah yang berkunjung ke Masjid Agung Ampel dan makam Sunan Ampel, tidak jarang juga melakukan perjalanan ritual berkesinambungan ke Makam Mbah Bungkul.
Nah, apa hubungan Sunan Ampel dengan Mbah Bungkul? Ternyata, Mbah Bungkul adalah besan Sunan Ampel.
Sahibul hikayat, Mbah Bungkul semula bernama Ki Ageng Supa. Sewaktu masuk agama Islam, namanya diganti menjadi Ki Ageng Mahmuddin. Ia mempunyai seorang puteri bernama Siti Wardah.
Suatu hari, Ki Ageng Mahmuddin berkeinginan menikahkan puterinya. Namun ia belum mendapatkan jodoh. Untuk mencari jodoh puterinya itu, Ki Ageng Mahmuddin bernazar melakukan sayembara. Uniknya, sayembara itu tidak terbuka, tetapi hanya diungkapkan dalam hati Ki Ageng Mahmuddin.
Ki Ageng Mahmuddin menghanyutkan satu buah delima ke Kalimas (Mungkin, di pinggir sungai dekat Jalan Darmokali sekarang). Ketika melemparkan delima itu ia mengucapkan nazarnya, siapa yang menemukan buah delima itu, kalau ia laki-laki, maka akan diambil menjadi menantu yang akan dinikahkan dengan Dewi Wardah.
Kebetulan di bagian hilir sungai Kalimas (ya, kira-kira dekat Jalan Pegirian sekarang), seorang santri Sunan Ampel yang sedang mandi menemukan buah delima itu. Si santri menyerahkan buah delima itu kepada gurunya, Sunan Ampel. Oleh Sunan Ampel buah delima itu disimpan.
Besoknya, Ki Ageng Mahmuddin menelusuri bantaran Kalimas. Sesampainya di pinggiran Kalimas dekat Ngampeldenta, ia melihat banyak santri mandi di sungai. Ada keyakinan Ki Ageng Mahmuddin, bahwa yang menemukan buah delima itu adalah salah satu di antara santri Sunan Ampel.
Tanpa pikir panjang, Ki Ageng Mahmuddin menemui Sunan Ampel. Ia bertanya kepada Sunan Ampel, apakah ada dari santrinya yang menemukan buah delima yang hanyut saat mandi di Kalimas? Sunan Ampel menjawab ada, bahkan delima itu ia yang menyimpannya setelah diserahkan oleh seorang santri. Ki Ageng lalu mengungkapkan tentang nazarnya itu kepada Sunan Ampel.
Sunan Ampel lalu mengatakan, santri yang menemukan buah delima itu bernama Raden Paku. Maka sesuai dengan nazarnya, ia minta kepada Sunan Ampel untuk sudi memperkenalkan laki-laki itu kepadanya dan sekaligus diizinkan untuk dinikahkan dengan anaknya, Dewi Wardah.
Sunan Ampel tidak dapat menolak, karena nazar wajib untuk dilaksanakan. Maka disetujuilah pernikahan Raden Paku dengan Dewi Wardah.
Ada keunikan dalam cerita ini, ternyata pada hari yang ditetapkan itu, sebenarnya Sunan Ampel juga menikahkan puterinya Dewi Murtasiyah dengan Raden Paku. Jadi, pada hari yang sama, Raden Paku menikah dengan dua wanita. Pagi hari dengan Dewi Murtasiyah anak Sunan Ampel dan petang harinya dengan Dewi Wardah anak Ki Ageng Mahmuddin alias Mbah Bungkul.
Begitulah ceritanya, karena ada keterkaitan antara Ki Ageng Mahmuddin yang juga dipanggil Mbah Bungkul itu dengan Sunan Ampel dalam hubungan “perbesanan”, maka para penziarah ke kawasan Ampel, juga menyempatkan diri berziarah ke makam Mbah Bungkul.

SUNAN AMPEL (seri 1)

Nah, siapakah sebenarnya Sunan Ampel itu? Seperti telah diungkap sebelumnya, umumnya penduduk Kota Surabaya adalah para pendatang dan perantau dari daerah lain di Nusantara ini. Bahkan, tidak sedikit pula yang berasal dari manacanegara. Selain dari Eropa, juga banyak yang berasal dari Timur Tengah, khususnya Arab, India dan Cina. Sunan Ampel, juga pendatang. Ia merantau atau hijrah ke Surabaya, menetap dan kemudian wafat sebagai “bunga bangsa” di Kota Pahlawan ini..
Nama Sunan Ampel abadi di Surabaya. Karya dan buah tangannya sebagai warga Surabaya masih ada sampai sekarang. Sunan Ampel adalah waliullah, ulama besar yang menumbuhkembangkan ilmu yang sangat bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat. Jadi, Surabaya patut berbangga, sebab sunan yang dituakan di antara Walisongo adalah Sunan Ampel.
Apabila ditelusuri jejak Walisongo di Surabaya cukup banyak, namun yang menonjol ada di tiga tempat. Pertama: kawasan Ampel, kedua: Masjid Rahmat dan ketiga: komplek Makam Mbah Bungkul.
Kawasan Ampel, sebuah kawasan permukiman di sekitar Masjid Agung Ampel di daerah Pegirian, Surabaya Utara. Di sini selain berdiri masjid peninggalan Sunan Ampel, di sekitarnya terdapat makam Sunan Ampel bersama para pengikutnya. Kawasan Ampel ini sudah sejak lama dijadikan obyek “wisata suci” atau ziarah oleh masyarakat dari berbagai daerah di Nusantara, juga dari luar negeri.
Masjid Ampel ini juga biasa dijadikan tempat start untuk kegiatan ziarah Walisongo. Setelah mengunjungi masjid dan makam Sunan Ampel, perjalanan dilanjut ke delapan walisongo lainnya. Makam Maulana Malik Ibrahim dan makam Sunan Giri di Gresik, makam Sunan Drajat di Lamongan, makam Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Kudus di Kudus, makam Sunan Muria di lereng Gunung Muria, makam Sunan Kalijaga di Demak dan makam Sunan Gunung Jati di Cirebon.

Siapa Sunan Ampel
Pendapat umum mengatakan, bahwa Sunan Ampel bukan orang Jawa, tetapi orang Campa dan ayahnya berasal dari Arab. Ini memang bukan sekedar “tutur tinular”, melainkan ada beberapa sumber tertulis yang mendukung. Pendapat umum itu juga dikuatkan oleh keterangan G.W.J.Drewes di depan rektor dan para dosen IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta bulan November 1971.
Ada beberapa versi tentang siapa dan dari mana asal Sunan Ampel. Dalam penelitian sejarah yang dilakukan para ahli, diakui bahwa informasi tertulis dan prasasti yang digoris di atas batu atau lempengan logam tentang Sunan Ampel sama sekali tidak ada.
Saat dilangsungkan Festival Walisongo I di Surabaya, Juni 1999 lalu, Yayasan Festival Walisongo menerbitkan buku Jejak Kanjeng Sunan – Perjuangan Walisongo. Pada buku itu, juga dijelaskan, para ahli tidak pernah menemukan naskah atau manuskrip yang ditulis pada masa hidupnya atau waktu yang agak dekat sesuadah wafatnya sampai sekarang.
Manuskrip yang mengisahkan serba sedikit tentang Sunan Ampel, baru ada pada zaman Kerajaan Mataram, seperti: “Babad Tanah Jawi”. Naskah yang lain umumnya ditulis pada abad ke 18 dan 19. Padahal kalau kita telusuri, Sunan Ampel hidup pada abad 14 atau sekitar tahun 1331 M – 1400 M. Pada “Babad Ngampeldenta” yang naskah aslinya disimpan di Yayasan Panti Budaya di Jogjakarta baru selesai diturun-tulis (titi tamat noeroen soengging) pada Hari Rabu Legi, tanggal 16 Jumadil Akhir 1830, bertepatan dengan 2 Oktober 1901.
Drs.H.Sjamsudduha yang menjadi narasumber tentang Sunan Ampel dalam buku Jejak Kanjeng Sunan – Perjuangan Walisongo, menyebutkan manuskrip yang bercerita tentang Sunan Ampel yang agak rinci, ada dua naskah tulisan “pegon” yang ditemukan di Dusun Badu, Desa Wanar, Kecamatan Pucuk dan Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Selanjutnya naskah itu disebut: naskah Badu Wanar dan naskah Drajat.
Kecuali itu, juga ada Babad Risakipun Majapahit Wiwit Jumenengipun Prabu Majapahit Wekasan Dumugi Demak Pungkasan yang disimpan di Perpustakaan Reksopustoko Surakarta, Jawa Tengah.
Para ahli sepakat menyebut nama lain Sunan Ampel adalah Raden Rahmat. Saat berusia 20 tahun, waktu itu sekitar tahun 751 H atau 1351 M, pria ini datang ke pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit. Tempat Raden Rahmat ini, ada tiga versi. Ada yang menyatakan ia kelahiran Cempa (Jeumpa), Aceh, ada yang menyebut Campa, sebuah kota di Kamboja, Indocina. Bahkan ada yang cukup ekstrim, Sunan Ampel diakui keturunan Cina dengan nama Bong Swie Ho. Dalam kronik Sam Po Kong di bawah angka tahun 1445, dinyatakan Bong Swie Ho adalah cucu Haji Bong Tek Keng dari Campa.

Babad Para Wali
Berdasarkan naskah Badu Wanar dan naskah Drajat, dikisahkan, Raden Rahmat datang ke Majapahit bersama kakaknya, bernama Raja Pandhita dan Raden Burerah anak Raja Kamboja. Raden Rahmat dan Raja Pandhita adalah anak kandung seorang guru agama Islam bernama Maulana Ibrahim Asmara dengan isterinya Candrawulan, dari Tulin, Campa.
Kedatangan Raden Rahmat dan Raja Pandhita yang diantar Raden Burerah ke pusat Majalapahit adalah untuk menemui bibinya Dewi Murtiningrum yang menjadi permaisuri raja Brawijaya. Setelah sampai dan menetap di Majapahit, mereka diperlakukan sebagai putera raja Brawijaya. Saat berada di sini, mereka ditertawakan karena melaksanakan shalat, sebab waktu itu Majapahit belum mengenal Islam. Raja Brawijaya tidak melarang mereka menunaikan ibadah secara Islam. Merekapun diminta menetap di Majapahit dan diberi jabatan sebagai tumenggung.
Raden Rahmat menikah dengan Raden Ayu Candrawati anak dari Arya Teja, Mantri di Tuban. Sedangkan Raja Pandhita kawin dengan Raden Ayu Maduretna anak Arya Babirin dari Arosbaya, Madura.
Raden Rahmat yang kemudian menetap di kampung Ampeldenta, mempunyai lima orang anak, yakni: Siti Syari’ah, Siti Muthmainnah, Siti Hasyfah, Ibrahim dan Raden Qasim. Raden Rahmat, juga menikah dengan puteri Ki Bang Kuning, bernama Mas Karimah dan mempunyai dua orang anak perempuan, Mas Murtabiyah dan Mas Murtasimah.

Babad Tanah Jawi I
Versi Babad Tanah Jawi (Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen 1647 – W.L.Olthof), disebutkan, raja Cempa kedatangan orang seberang bernama Makdum Ibrahim Asmara. Ia memohon agar raja masuk Islam. Permintaan itu dikabulkan raja dan juga diikuti seluruh rakyatnya.
Raja Cempa menikahkan anak perempuannya dengan dengan Makdum Ibrahim dan mempunyai dua orang putera, Raden Rahmad dan Raden Santri. Sedangkan Raja Cempa ini juga punya anak laki-laki bernama Raden Burerah.
Raden Rahmat bersama adiknya minta izin kepada raja yang juga kakeknya itu untuk pergi ke Majapahit menemui bibinya. Raja Cempa mengizinkan asal ditemani oleh Raden Burerah. Mereka bertiga sampai di Majapahit dan bertemu dengan Raja Brawijaya. Raden Rahmat kemudian menikah dengan puteri Tumenggung Wilatikta, bernama Gede Manila dan bertempat tinggal di Ampeldenda.
Raden Burerah dan Raden Santri menikah dengan puteri Arya Teja. Yang tua dengan Raden Santri dan adiknya dengan Raden Burerah. Mereka berdua bertempat tinggal di Gresik.

Babad Tanah Jawi II
Babad Tanah Jawi (BTJ) versi ke dua ini disebut BTJ Galuh Mataram – Suwito Santoso, bercerita seperti berikut. Ada seorang sultan di negeri Arab yang masih keturunan Nabi Muhammad SAW, mempunyai anak laki-laki bernama Syekh Ibrahim. Suatu hari Ibrahim diperintah kakaknya pergi ke Tanah Jawa untuk mengislamkan penduduknya. Setelah berlayar, sampai di negeri Cempa dan bertemu raja Cempa. Dia menetap di sini dan diberi gelar Syekh Wali Lanang dan ia berhasil mengajak raja Cempa masuk Islam. Syekh Wali Lanang kemudian dikawinkan dengan puterinya yang muda, adik Ratu Darawati yang kawin dengan raja Brawijaya V di Majapahit.
Kebetulan datang seorang kemenakan Ratu Darawati dari Cempa, bernama Raden Rahmat putera Syekh Ibrahim alias Wali Lanang. Prabu Brawijaya, mengangkat Raden Rahmat sebagai Sunan di Ngampel, sehingga ia dikenal sebagai Sunan Ampel. Waktu itu Prabu Brawijaya mengizinkan rakyat Majapahit memasuki agama Islam, asal tidak ada paksaan, tetapi baginda sendiri tidak mau memeluk agama Islam.

Babad Ngampeldenta
Manuskrip yang disimpan di Panti Budaya, Jogjakarta dengan nomor PB A.200, sekarang disimpan di Perpustakaan Museum Negeri Sonobudoyo Jogjakarta. Alih hurufnya dilakukan Dr.Th.Pigeaud tahun 1939. Di sini diungkapkan, Sang Pandhita, yakni Maulana Ibrahim Asmara menikah dengan Retna Sujinah dari Cempa, juga beristeri dari Aceh. Dengan Ratna Sujinah ia punya dua putera laki-laki diberi nama Raden Rahmat. Adiknya yang lahir kemudian diambil anak oleh isteri yang dari Aceh dan diberi nama Raden Atmaja.
Raden Rahmat dengan dua pengiringnya, berbekal dua surat menghadap raja Majapahit. Surat pertama menyatakan bahwa yang datang adalah kemenakan sang prameswari, dan surat yang satu lagi berisi ajakan Syekh Maulana Ibrahim Asmara beserta isteri dan raja Cempa, serta ibundanya, agar raja Majapahit berkenan memeluk Islam. Apabila raja belum berkenan, ayunda saja yang masuk Islam. Surat itu juga memberitahu, bahwa Raden Rahmat telah paham dan menguasai segala ilmu, sehingga patut menjadi ulama.
Raden Rahmat diberi tempat tinggal di Ngampel dengan pengikut yang banyak. Delapan ratus keluarga atau somah beralih masuk Islam. Raja tidak melarang rakyatnya pindah agama, terserah kesukaannya sendiri.
Ada satu lagi versi tentang siapa Raden Rahmat atau Sunan Ampel, diungkapkan dalam Babad Risakipun Majapahit Wiwit Jumenengipun Prabu Majapahit Wekasan Dumugi Demak Pungkasan. Cerita seperti di bawah ini.
Madum Ibrahim di Cempa berputera dua orang laki-laki, yang tua bernama Raden Rahmat, yang muda bernama Raden Santri, putera raja Cempa bernama Raden Burerah. Raden Rahmat bersama adiknya pergi ke Pulau Jawa untuk menjenguk bibinya di Majapahit. Sesampai di Majapahit menghadap raja dan mereka diterima dengan sangat senang. Mereka di Majapahit sudah setahun.
Raden Rahmat menikah dengan puteri Arya Teja. Puteri Arya teja yang kedua menikah dengan Raden santri, yang tengah menikah dengan Raden Burerah. Putera Arya teja yang bungsu Tumenggung Wilatikta.
Raden Rahmat ditempatkan di dusun Ngampeldernta, dan diberi gelar Sunan Ngampeldenta. Raden Santri dan Raden Burerah diberi sebidang tanah di Gresik sebagai dusun tempat tinggal.
Raden Rahmat memohon kepada raja agar memeluk agama Islam. Raja Brawijaya belum ingin masuk agama Islam, tetapi semua orang Jawa yang ingin masuk agamaq Islam tidak dibatasi, terserah mereka yang menyenanginya.
Adipati Bintara terus datang di Ngampel, menghadap Sunan Ngampelgadhing. Tatkala itu di negeri Surabaya sudah Islam semua. Adipati Bintara memohon izin untuk menyerbu negara Majapahit, karena sekalipun yang memerintah negara itu orangtuanya sendiri, tetapi diua kafir, tidak mau mengikuti Islam. Sunan Ampel melarang, karena ayahandanya tidak pernah mencegah orang masuk Islam. Beliau memberi kebebasan dan memberi sejumlah orang untuk ikut pindah dan menjadi muslim dan mukmin. Di Surabaya mereka membangun agama.
Apa jeleknya paduka raja. Adapun beliau belum mau masuk agama Islam, karena Allah belum menghendakinya. Jangan mendahului takdir, hendaklah menerima kehendak Allah. Adipati Bintara mendengar dengan takzim. Adipati Bintara hanya dua hari di Surabaya, terus pulang ke Demak.
Tatkala Sunan Ngampeldenta wafat, para wali semuanya datang. Mereka memandikan dan mensalatkannya. Para wali sama menangis. Sesuadah dimakamkan di Ngampelgadhing, Sunan Giri hadir dan ditetapkan menjadi imam (pemimpin) para wali. Sunan Bonang juga hadir. Trah (kerabat keturunan) Ngampelghading banyak yang menjadi waliyullah, seperti Murya dan Ngudung. Begitulah negara Demak makin ramai dan para wali sepakat untuk mendirikan kerajaan.
Manuskrip asli dari babad di atas disimpan di Reksopustoko, Solo; alih huruf Martodarmono pada tahun 1988, halaman 8-9, 40 dan 57.

SUNAN KALIJAGA


Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah Putra Adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman.

Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali (penunggu sungai). Sedangkan versi yang lain mengatakan beliau menunggu tungkat Sunan Bonang di tepi sungai. Apapun versinya yang jelas beliau mempunyai hubungan yang sangat erat dengan sungai.

Kemudian kaedah ini berkembang menjadi sebuah ritual Kum kum Sebuah teknik ritual pernafasan tenaga dalam dan kebatinan yang di katakan sangat cepat membangunkan tenaga dalaman dan tenaga kerohanian seseorang.

Fakta di atas saya kutipkan dari sebuah naskah kuno yang bertajuk Mertasinga yang merupakan pesan yang disampaikan, oleh Syekh Ataullah, salah satu guru dari Sunan Gunung Jati. Naskah ini diterjemahkan oleh Bapak Amman N. Wahjoe, yang memiliki dokumen ini secara turun menurun dalam keluarganya dan kepada anak muridnya. Penulis merupakan salah seorang yang terlibat dalam mengembangkan metode Sunan Kalijaga ini.

Kaedah kum kum ini merupakan sebuah Ritual kerohanian warisan Kanjeng Sunan Kalijaga dan sangat popular bagi peminat ilmu kebatinan ”manunggaling kuala gusti” menyatu tidak bersatu, bercerai tidak berjauhan.
Sebuah konsep sufi yang sangat terkenal dengan keampuhan pembangkitan tenaga kerohanian.
Dalam metode ini atau kaedah mengamalkan sesuatu kebatinan Versi Sunan Kalijaga ini beberapa media tertentu .Media – media ini di perlukan sebagai saranan untuk meringankan sukma dan membuka pintu tenaga dalaman anda.

CERITA RAKYAT SUNAN PANDAN ARANG

Ki Pandan Arang I yang dalam pemerintahannya cukup cukup merasa sangat menderita dan kecewa kerana putri kesayangan yang cantik jelita menderita sakit lumpuh. Segala iktiar telah di lakukan , malangnya semua usaha beliau gagal dan tidak ada kemajuan. Putrinya tetap lumpuh. Sehinggalah beliau mempunyai nadzar, barang siapa dapat menyembuhkan putrinya akan diambil sebagai menantu.

Pads suatu hari Sunan Kalijaga memberitahu bahwa di Gunung Gede ada orang yang pandai bernama Ranawijaya berasal dari Majapahit. Atas permintaan Ki Pandan Arang I, Ranawijaya datang ke Kadipaten. Dengan doa khusus beliau mendoakan sang putri. Akhirnya sang Putri dapat di sembuhkan . Akhirnya Ranawijaya diambil sebagai menantu.

Pada saat Ki Pandan Arang I meninggal dunia, Ranawijaya menggantikan dengan gelar Ki Pandan Arang II. Daerahnya maju pesat, rakyatnya makmur termasuk perkembangan agama Islam cukup memuaskan. Namun kemakmuran dan keberhasilan dalam pemerintahannya membuat Ki Pandan Arang II lupa diri, ia jadi congkak, sombong dan kedekut. Ia selalu mengejar harta walaupun sudah melimpah ruah.
Mengetahui keadaan semacam itu Sunan Kalijaga datang menyamar sebagai penjual rumput. Dalam kesempatan tawar menawar disisipkan peringatan terhadap perilaku Ki Pandan Arang II yang telah menyimpang dari ajaran agama Islam. Berulang kali Sunan Kalijaga datang memperingatkan namun tak dihiraukan. Akhirnya Sunan Kalijaga menunjukkan kesaktiannya, setiap tanah yang dicangkulnya berubah menjadi sebongkah emas dan diberikan kepada Pandan Arang.

Pandan Arang sangat heran terhadap kesaktian penjual rumput. Setelah diketahui bahwa penjual rumput itu Sunan Kalijaga maka bersujud dan bertaubat. Pandan Arang melepaskan kedudukannya sebagai Adipati ingin berguru kepada Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga menyanggupi mengajarkan ilmu di Gunung Jabalkat dengan syarat perjalanan yang di tempuh tidak boleh membawa harta benda.

Setelah bulat tekadnya Pandan Arang bersama istrinya meninggalkan Semarang menuju Gunung Jabalkat, Dasar naluri seorang wanita, Nyi Pandan Arang memasukkan seluruh perhiasannya dan sementara uang dinar ke dalam tongkat yang akan dibawanya. Dalam perjalanan Nyi Pandan Arang tertinggal jauh dari suaminya. Dia dihadang tiga orang penyamun. Direbutnya tongkat tongkatnya dan seluruh bawaannya. " Kangmas, tolong! Ada tiga orang penyamun! (Jawa: Kangmas, tulung! Wonten Tyang, salah, tiga.... lebih kurang saya berbahasa jawa he he he ) ".
Menurut yang punya cerita tempat itu sekarang diberi nama Salatiga (salah-tiga). Pada saat Ni Pandan Arang kembali menolong istrinya, tiga orang penyamun itu marsh merebut perhiasan yang dipakai Nyi Pandan Arang. Melihat sikap kasar para penyamun Ki Pandan Arang menjadi marah. " Hei! Manusia mengapa nekad seperti kambing domba (Jawa : E, wong kok drufhus kaya wedhus)."

Dengan izin Allah wajah Sambangdalan ( pemimpin penyamun ) itu berubah menjadl domba atau kaldai. Para penyamun takut mefihat kesaktian Ki Pandan Arang. Sambangdalan bertaubat dan minta supaya wajahnya dikembalikan seperti semula. Pandan Arang memaafkan kesalahannya tetapi wajahnya tetap seperti domba. Sambangdalan akhirnya menjadi pengikut Pandan Arang dan lebih dikenal dengan nama Syeh Domba....

Kesaktian Sunan Kalijaga
Dari Sunan Kali Jaga terus Ki Pandan Arang dan Akhirnya Syeh Domba. dikatakan memiliki beberapa keilmuan kerohanian yang sangat luar biasa dengan Izin Allah. Menurut Guru kepada guru saya yang mempunyai sejarah dan wasilah sehingga kepada Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga dikurniakan berbagai karomah dan kesaktian adalah disebabkan mendekatkan dirinya dengan Allah sedekat dekatnya.
Menurut guru saya lagi. Apabila Allah mencintai kita maka terjadilah ”pentajalian” segala sifat-sifatnya terhadap terhadap hamba. Kata beliau lagi ” bukan kamu yang melontar, tapi Allah yang melontar, bukan kamu yang melihat tetapi Allah yang melihat”. Salah satu syair hasil karya sunan Bonang , Boleh saya kutipkan disini terjemahan dari syair yang aslinya berbahasa Jawa tersebut:
Obat hati ada lima perkara.
Yang pertama, baca Qur’an dan maknanya
Yang kedua, shalat malam dirikanlah
Yang ketiga, berkumpulah dengan orang saleh
Yang keempat, perbanyaklah berpuasa
Yang kelima, dzikir malam perpanjanglah.
Siapa yang bisa melakukan salah satunya
Semoga Tuhan memberikan penyembuhnya.


Jika pekara – pekara di atas anda jadikan panduan insyaallah, kita akan berjaya dalam kehidupan dunia dan akhirat. Selain dari pekara yang telah saya sebutkan diatas Sunan kalijaga mempunyai auratnya yang tersendiri. Menurut karangan kuno Mertasinga mengatakan. Amalan atau aurat tersebut Sunan Kalijaga mendapatkan dari Sunan Bonang secara wejangan di atas perahu.

Menurut ceritanya keampuhan amalan tersebut apa bila di bacakan pada sesuatu akan memberi barokah. Ini terbukti sewatu amalan tersebut di Ijazahkan kepada sunan kalijaga, kebetulan seekor cacing yang di sumpah dari seorang manusia. Mencuri dengar amalan tersebut. Dengan Izin Allah segala sumpahan terhadap itu telah tamat dan terbatal. Maka cacing tersebut bertukar menjadi seorang manusia yang bernama Syeh Siti Jenar. Ini merupakan sebuah cerita rakyat yang kebenaranya hanyalah pembaca yang menilaikanya.

Maka amalan tersebut sangat di Rahsiakanya, menurut cerita rakyat sewaktu Sunan Kalijaga mencangkul tanah dan menukarkanya menjadi Emas amalan ini di baca terus menerus. Amalan ini di ajar turun temurun dari sunan Kali jaga kepada murid kesayangan beliau sehinggalah kepada penulis.
Amalan tersebut adalah Doa Nurun Nurbuah yang sangat terkenal ini, Cuma bezanya adalah kaedah cara mengamalkanya. Doa Nurun Nurbuah yang di amalkan dengan menggunakan metode Kanjeng Sunan Kali Jaga. Adalah sangat berbeza dengan kaedah pengamalan yang di pelajari dari pondok-pondok atau majlis Ilmu Kerohanian yang lain.Untuk pengetahuan anda semua Doa Nurun Nurbuat mempunyai berbagai Versi. Varsi yang kami gunakan merupakan Versi asal dari Wali sembilan Khususnya dari Kanjang Sunan Kalijaga. Menggunakan Metode asal dan prasyarat dari Kanjeng Sunan Kalijaga.