SUNAN
Ampel benar-benar sudah diyakini oleh semua peneliti sejarah, “bukan
orang Jawa”. Ia adalah pendatang dari Campa atau Cempa atau Jeumpa.
Masih belum jelas, di mana tepatnya. Bahkan juga disebutkan bahwa Sunan
Ampel, berdarah Arab dan keturunan Cina.
Selain itu semua, ada lagi kisah tentang nasab atau garis keturunan Sunan Ampel. Dalam Babad Tanah Jawi- Galuh Mataram, versi Soewito Santoso, menegaskan bahwa Sunan Ampel berasal dari Arab dan masih keturunan Nabi Muhammad SAW (Shalallahu ‘Alaihi Wasallam).
Azzumardi
Azra dalam bukunya “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di
Indonesia, 1994,halaman 30, bahwa ayah Sunan Ampel orang Arab bukan
sekadar “tutur tinular”, melainkan ada beberapa sumber tertulis
yang mendukung. Pendapat umum tersebut juga dikuatkan oleh keterangan
GWJ Drewes di depan rektor dan para dosen IAIN Kalijaga Jogjakarta, 21
November 1971, sebagaimana diberitakan pada Bulletin Antara, terbitan LKBN Antara, edisi pagi, 22 November 1971, halaman 1.
Salah
satu bangsa di dunia yang senang dan paling rajin mencatat nasab dan
silsilah adalah Bangsa Arab, terutama kaum Alawiyyin. Ini karena ciri
khas kaum ini yang bangga dan hormat terhadap orang tua dan leluhurnya.
Kabilah Arab menyusun cacatan silsilah ini dengan rapi. Syekh Al-Fadil
wa al-Tahrir al-Kamil Abi al-Faus al-Bagdadi yang biasa disebut
al-Syuwaidiy dalam bukunya: “Sabaik al-Zahab fi Ma’rifati Qabail al-Arab, menulis tentang silsilah dan pecahan kabilah di Arab perantau sampai ke India.
Dalam
kitab itu juga diuraikan tentang garis keturunan Nabi Muhammad SAW ke
Siti Fatimah yang menjadi penyebar agama Islam sampai ke Timur Jauh,
yakni: India, Kamboja, Siam, Annam, Malaysia dan Indonesia.
Dalam beberapa silsilah Nabi Muhammad yang kemudian sampai ke Sunan Ampel, terungkap pada Serat Babad Para Wali Tanah Jawa sebagai versi pertama,
silsilah dari 1’Nabi Muhammad terus ke generasi 2.Sayyidah Siti Fatimah
az-Zahra + Sayyidina Ali bin Abi Thalib, terus ke 3.Husein — 4.Ali
Zainal Abidin — 5.Muhammad al-Baqir — 6.Ja’far Shadiq — 7.Ali —
8.Muhammad — 9.Isa — 10.Ahmad Muhajir — 11.Ubaidullah — 12.Alwi —
13.Muhammad — Alwi — Ali Khaliq — Muhammad — Alwi — Abdul Malik —
Abdullah Khan — Ahmad Jamaluddin — Jamaluddin Akbar — Ibrahim dan terus
ke Raden Rahmat.
Versi kedua,
dari Nabi Muhammad terus ke Siti Fathimah az-Zahra + Sayyidina Ali bin
Abi Thalib — S.Husain — Ali Zainal Abidin (wali di Mindanau, Filipina) —
Zainal Alim — Zainal Kabir — Zainal Husain — Jumadil Kubra — Ibrahim
Asmara dan Raden Rahmat.
Versi ketiga,
urutan nasab Syarif Muhammad bin Ali Zainal Abidin, yaitu: dari 1.Nabi
Muhammad SAW terus ke 2.Siti Fathimah az-Zahra + Sayyidina Ali bin Abi
Thalib — 3.Husain – 4.Ali Zainal Abidin — 5.Muhammad al Baqir — 6.Ja’far
Shadiq — 7.Ali — 8.Muhammad — 9.Isa — 10.Ahmad Muhajir — Ubaidullah
—Alwi — Abdurrahman — Ahmad — Abdullah — Ali — Muhammad — Abdullah —
Muhammad — Ali — Nuhammad — Husen — Ali al Baqir — Ali Zainal Abidin —
Muhammad Abdul Malik dan Raden Rahmat.
Versi keempat,
berdasarkan silsilah Sunan Giri, sebagai berikut: dari Nabi Muhammad
SAW ke Siti Fathimah az-Zahra + Sayyidina Ali bin Abi Thalib – Husain —
Ali Zainal Abidin – Muhammad al Baqir — Ja’far Shadiq —Ali — Muhammad —
Isa — Ahmad Muhajir — Ubaidullah —Alwi — Muhammad — Alwi — Ali Khaliq —
Muhamad — Alwi — Ibrahim — Maulana Ishaq — Raden Rahmat.
Dari
empat versi di atas, versi pertama, apabila diperhatikan dari nama, ada
perbedaan sebutan nama-nama psds nomor urut keturunannya.
Silsilah
lainnya ada empat versi lagi, semua tentang garis nasab Raden Rahmat
atau Sunan Ampel dari Nabi Muhammad melalui Siti Fatimah.
Kendati
dari berbagai versi itu ada perbedaan, namun pada akhirnya ada
kesamaan, yakni keturunan terdekat Raden Rahmat adalah Ibrahim.
Gelar Raden
Biasanya,
kalau penyebar agama Islam berasal dari Arab, ia sering dipanggil
syekh. Sebagaimana panggilan untuk ulama besar di Sumatera, terutama di
Minangkabau atau Sumatera Barat. Tetapi itu sama sekali tidak, pada
Sunan Ampel dan beberapa sunan lainnya. Kecuali ada sebutan syekh untuk
Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Syekh Maulana Yusuf.
Berbagai sumber dan babad, semuanya menyatakan Sunan Ampel pada masa kecilnya bernama Rahmat.
Dalam
riwayat berikutnya, setelah menempuh perjalanan panjang dengan
menyeberangi samudera dan lautan, Rahmat datang pusat kerajaan Majapahit
bersama adiknya Raja Pandhita alias Santri dan anak pamannya bernama
Beureurah atau Burerah. Paman Rahmat atau ayah Burerah adalah Raja
Cempa. Di keraton Majapahit mereka bertiga diterima sebagai keluarga
kerajaan. Sebab, Rahmat dan Raja Pandhita alias Santri adalah kemenakan
dari permaisuri Prabu Brawijaya yang bernama Dewi Murtiningrum atau
dalam Babad Tanah Jawi – Galuh Mataram disebut Ratu Darawati.
Nah,
saat berada di Majapahit inilah, mereka bertiga memperolah gelar
“raden”, sehingga Rahmat menjadi Raden Rahmat, Raja Pandhita alias
Santri menjadi Raden Santri dan Beureurah menjadi Raden Burerah.
Kemudian,
Raden Rahmat sebagai ulama dan oleh Prabu Brawijaya diberi kesempatan
untuk menguasai suatu wilayah di Surabaya, tepatnya di Ampel. Tidak
hanya itu, dalam buku Oud Soerabaia (1931), karangan G.H.von Faber, halaman 288, disebutkan bahwa Raden Rahmat pindah bersama 3.000 keluarga pengikutnya (drieduizend huisgezinnen).
Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java (1817), halaman 117 menulis kepindahan Raden Rahmad dari keraton Majapahit ke Ampel disertai 3.000 keluarga (three thousand families). Sementara itu menurut Babad Ngampel Denta, jumlah orang yang boyongan bersama Raden Rahmat ke Ampel Surabaya sebanyak 800 keluarga (sun paringi loenggoeh domas). “Domas” menurut S.Prawiroatmodjo dalam buku Bausastra Jawa – Indonesia (1981) artinya delapan ratus.
Jadi,
pemberian gelar raden untuk Rahmat sehingga bernama Raden Rahmat,
karena ia dianggap sebagai bangsawan dan perlu mendapat penghormatan.
Bisa juga, karena dia sebelumnya bergelar asy-Syarif atau as-Syayyid
yang merupakan ningrat Arab, tulis G.F.Pijper dalam “Beberapa Studi
Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950” terjemahan Tudjimah dan Yessi
Augusdin (1984).
Berdasarkan
padanan itu, lalu disejajarkanlah Rahmat dengan keturunan raja-raja
Jawa, ia diberi gelar raden. Dengan adanya gelar raden itu, ia tidak
lagi menjadi orang asing di sini. Apalagi dalam riwayat berikutnya,
Raden Rahmat kawin dengan pribumi dan beranak-pinak sebagai “Orang
Jawa”.
Sunan dan Wali
Setelah
masa lalunya akrab dengan nama Raden Rahmat, kiprahnya dalam
menyebarkan agama Islam dari Surabaya, terus berkembang ke seluruh Tanah
Jawa. Raden Rahmat tidak sendiri, ia dibantu murid-murid dan
anak-anaknya.
Sebagai guru besar agama Islam ia kemudian mendapat julukan “Suhun”. Dalam buku Javaansch-Nedherlansch Handwooenboek (1901) karya J.F.C Gerieke dan T.Roorda, disebutkan bahwa Suhun merupakan
kata dasar dari Sunan. Nah, kemudian berubahlah panggilan suhun menjadi
sunan. Karena menetap di Ampel, maka Raden Rahmat kemudian popular
dengan sapaan Sunan Ampel.
Kata “wali”, berasal dari kalimat waliyullah atau
wali Allah. Dalam tradisi Jawa, terutama kalangan orang-orang Islam,
tulis Drs.H.Syamsudduha dalam Jejak Kanjeng Sunan (1999), “wali” tidak
hanya sekedar sebutan, tetapi ada “roh” atau “geest” di dalamnya.
Sebutan
wali di situ tidak bisa dilepaskan dari Al Quran, seperti terdapat
dalam Surat Yunus ayat 62-64. Ayat itu mengandung makna wali Allah,
ialah orang yang karena iman dan taqwanya tidak merasa takut, tidak
mengenal sedih, selalu gembira atau senantiasa optimistik dalam
perjuangan, karena yakin dengan janji Allah yang akan memberi kemenangan
dan keberhasilan.
Perkembangan
zaman dan semakin tumbuhnya kehidupan manusia, maka penyebaran Islam di
Tanah Jawa semakin nyata. Sunan Ampel tidak lagi sendiri, tetapi ada
delapan lagi penyebar agama Islam yang juga memperoleh gelar yang sama.
Dari delapan orang yang bergelar Sunan, satu di antaranya dipanggil
Syekh.
Sunan
Ampel dengan tujuh Sunan dan satu Syekh ini disebut sebagai Wali yang
sembilan atau Wali Sanga atau Wali Songo. Mereka adalah Sunan Ampel di
Surabaya, Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri di Gresik, Sunan
Drajat di Lamongan, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Kalijaga di Demak,
Sunan Muria di Gunung Muria, Sunan Kudus di Kudus dan Sunan Gunung Jati
di Cirebon.
Museum Wali Songo
Masyarakat
Surabaya patut bangga terhadap keberadaan Sunan Ampel. Betapa tidak,
sebab dengan adanya kiprah masa lalu Sunan Ampel itu, mengangkat derajat
Surabaya sebagai “Kota Relegius”. Kota yang peduli terhadap agama,
khususnya Islam. Berkat kiprah Sunan Ampel dengan segala peninggalan
sejarah yang dibuatnya, kini Surabaya dapat menjadi pusat sejarah Islam
di tanah Jawa.
Sunan
Ampel sebagai sunan yang “dituakan” di antara delapan Wali Songo
lainnya, menjadi Surabaya sebagai pangkal kegiatan ziarah “Wali Songo”.
Dan sudah umum, sebelum melakukan ziarah ke makam-makam Wali Songo,
Masjid Agung Ampel dan makam Sunan Ampel dijadikan tempat start. Dari sini baru kemudian menuju ke Gresik, Lamongan, Tuban, Gunung Muria, Kudus, Demak dan finish di Cirebon.
Biasanya,
kalau kita akan melakukan perjalanan jauh, maka di awal perjalanan kita
membuat perencanaan tentang tujuan selanjutnya. Saat berada di tempat
pemberangkatan awal, kita wajib mengetahui peta yang akan dituju
kemudian. Artinya, untuk ziarah Wali Songo, ketika masih berada di strat makam
Sunan Ampel, maka rencana kunjungan ke delapan wali lainnya sudah
dipersiapkan. Bahkan, gambaran tempat yang akan dituju sudah ada di
angan-angan.
Angan-angan
tentang Wali Songo itu harus berada di Surabaya, bentuk angan-angan itu
adalah suatu tempat yang mampu memberi gambaran ke depan. Jadi, apa
yang dikatakan mantan Kepala Dinas Pariwisata Kota Surabaya,
Drs.H.Muhtadi,MM sangat tepat.
Pemerintah
Kota Surabaya, harus dapat menciptakan gambaran keseluruhan tentang
Wali Songo itu dalam bentuk “Museum Wali Songo”. Dengan adanya gambaran
yang diperagakan dan diinformasikan dari Museum Wali Songo, maka para
wisatawan atau peziarah memperoleh bekal yang sangat berguna.
Museum Wali Songo di Surabaya harus mampu memberi gambaran masing-masing aktivitas ke sembilan wali itu.
Selain
kiprah Sunan Ampel yang sudah banyak diungkap, di museum itu perlu
digambarkan secara jelas tentang Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Sunan
Giri di Gresik. Begitu pula dengan Sunan Drajat, Sunan Bonang, Sunan
Muria, Sunan Kudus, Sunan kalijaga dan Sunan Gunung Jati.
Tentunya,
apa yang digagas Muhtadi itu layak memperoleh dukungan dari petinggi
Kota Surabaya, yakni Walikota Surabaya bersama Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Kota Surabaya, perguruan tinggi serta masyarakat pencinta
sejarah. Dengan kebersamaan semua pihak, insya Allah, gagasan tentang
pendirian Museum Wali Songo di Surabaya dapat diwujudkan.