Masyarakat
sejarah sudah memastikan dan meyakini, bahwa Sunan Ampel memang bukan
asli dari Jawa. Ada yang menyebut berasal dari Campa, Cina Selatan dan
ada pula yang menyatakan berasal dari Arab. Kendati demikian, pada saat
peringatan HUT ke-710 Kota Surabaya, ada peristiwa bersejarah yang
terjadi Rabu, 28 Mei 2003. Masjid Muhammad Cheng Ho di Jalan Gading 2
Surabaya diresmikan oleh Menteri Agama RI. Saat upacara peresmian itu
dari “bisik-bisik” terungkap kisah lain tentang asal-usul Sunan Ampel.
Ia dikatakan berasal dari Cina atau keturunan Tionghoa.
Sebelumnya diungkapkan asal-usul Sunan Ampel berdasarkan versi Babad Para Wali, Babad Tanah Jawi dan Babad Ngapeldenta. Ada lagi versi lain, versi “Babad Risakipun Majapahit Wiwit Jumenengipun Prabu Majapahit Wekasan Dumugi Demak Pungkasan” yang manuskrip aslinya disimpan di Reksopustoko, Solo.
Berbeda
dengan versi sebelumnya, ada lagi versi lain tentang Sunan Ampel, versi
Kronik Sam Po Kong, Semarang. Parlindungan dalam bukunya “Tuanku Rao”,
terbitan Tanjung Pengharapan, menulis, bahwa Sunan Ampel keturunan
Tionghoa atau Cina. Nama asli Sunan Ampel atau Raden Rahmat adalah Bong
Swie Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng dari Campa. Tahun 1447, Bong Swie
Hoo di Tuban nikah dengan puteri Haji Gan Eng Tju yang pupular dengan
panggilan Nyi Ageng Manila.
Sedangkan
Slamet Muljana dalam buku “Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya
Negara-negara Islam di Nusantara” terbitan Bhatara, Jakarta, 1968
halaman 103, mengidentifikasikan Haji Gan Eng Tju sebagai Arya Teja.
Berita
tentang orang-orang Cina Muslim yang menetap di Jawa, pertama kali
diberitakan oleh Ma Huan. Ia berkunjung ke Jawa tahun 1407 dalam suatu
rombongan utusan kaisar Tiongkok ke Asia Tenggara. Kisah ini dibukukan
dengan judul Yeng-yei Sheng-lan (Catatan umum tentang pantai dan samudera raya).
Berdasarkan
data ini, diungkap bahwa Sunan Ampel berdarah Cina, maka dugaan
tersebut dikuatkan oleh gambar Sunan Ampel yang disimpan di Amsterdam.
Gambar itu ditemukan oleh Lembaga Riset Islam Pesantren Luhur Malang,
direproduksi oleh Panitia Lustrum ke-2 Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Sunan Ampel, 5 Juli 1975.
Kunjungan
Cheng Ho ke Asia Tenggara, diduga sebagai salah satu sebab banyaknya
saudagar Cina berimigrasi secara besar-besaran ke berbagai negeri di
Asia Tenggara ini, termasuk Indonesia. Di antaranya menetap di Surabaya.
Dua
peneliti Bangsa Belanda, De Graaf dan Pigeaud menulis, masyarakat Islam
yang ada di Gresik dan Surabaya, banyak yang berasal dari Cina,
khususnya Hindia Belakang atau Indo Cina. Nama wilayah yang terkenal
waktu itu adalah Campa. Pada waktu dinasti Yuan dan Ming berkuasa di
Cina, Campa berada di Provinsi Yunnan. Penguasa terkenal di wilayah ini,
tulis Drs.H.Sjamsudduha dalam buku Jejak Kanjeng Sunan, Perjuangan
Walisongo (1999) adalah Say Dian Chih.
Campa
tahun 1471 dikuasai oleh orang Annam atau Vietnam, kecuali satu daerah
yang bernama Pandurangga. Dalam ekspedisinya, Cheng Ho juga sering kali
singgah di Campa. Tetapi, Buya Hamka dalam bukunya “Sejarah Umat Islam”
penerbit Nusantara, Bukittinggi, menegaskan bahwa Sunan Ampel atau Raden
Rahmat bukan berasal dari Campa, Indo Cina, melainkan dari Cempa atau
“Jeumpa” di Aceh.
Hingga sekarang “Jeumpa” itu masih ada di Aceh, sebagai nama kecamatan dengan ibukota Bireun, Kabupaten Aceh Utara.
Sebenarnya
kisah dan cerita tentang Sunan Ampel ini masih banyak, tetapi tidak
sama. Masing-masing punya versi sesuai dengan sumber yang diteliti.
Kendati demikian, sebagai obyek wisata suci (ziarah), sangat layak
masalah Sunan Ampel ini ditelusuri lebih teliti lagi.
Peninggalan
Sunan Ampel terdapat di kawasan Ampel, selain ada masjid Agung dan
komplek makam Sunan Ampel, juga terdapat puluhan makam pengikutnya.
Kembang Kuning
Salah
satu peninggalan lain Sunan Ampel adalah Masjid Rahmat di daerah
Kembang Kuning, Surabaya. Konon ceritanya, saat Raden Rahmat mendapat
restu dari Prabu Brawijaya untuk tinggal di Ngampeldenta, Surabaya.
Sebelum sampai di tujuan, ia sempat beristirahat dan tinggal di daerah
Kembang Kuning.
Selama
berada di Kembang Kuning, Raden Rahmat mendirikan rumah dan masjid. Ada
yang mengindentikkan perjalanan Raden Rahmat dari pusat kerajaan
Majapahit ke Ngampeldenda, seperti Nabi Muhammad hijrah dari Mekah ke
Madinah. Di mana, Rasulullah Muhammad SAW, sebelum sampai di kota
Madinah berhenti dulu dan tinggal di Quba. Di kota yang jaraknya sekitar
5 kilometer dari Madinah itu, nabi membangun masjid pertama, yakni
Masjid Quba.
Sedangkan
Raden Rahmat sebelum sampai di Ngampeldenta, singgah dan membangun
masjid di Kembang Kuning. Sampai sekarang masjid peninggalan Raden
Rahmat itu masih ada di Kembang Kuning yang diberi nama Masjid Rahmat.
Letaknya, juga sekitar 5 kilometer dari daerah Ampel.
Tidak hanya itu, di Kembang Kuning ini menurut naskah Badu Wanar dan naskah Drajad, tarikh Auliya,
halaman 6, disebutkan bahwa Raden Rahmat sempat menikah dan dua anaknya
dari perkawinan itu lahir di sini. Keduanya puteri, yakni: Dewi
Mustasiyah dan Dewi Murtasimah.
Versi
lain menyebut, waktu itu Raden Rahmat dengan isteri pertama mempunyai
delapan orang anak, yaitu: Sunan Bonang, Sakban Gunung Muria alias
Pangeran Sobo, Maulana Joko Lor Sunan Kudus, Dewi Murtasiyah, Nyi Ageng
Maloko, Maulana Zainuddin Penghulu Demak, Maulana Hasyim Sunan Drajad
dan Maulana Abdul Jalil alias Asmara Jepara.
Satu
versi lagi menyatakan, bahwa waktu bersiteri dengan wanita dari Kembang
Kuning, Raden Rahmat mengumpulkan dua isterinya dalam satu rumah.
Dengan dua isteri itu Raden Rahmat mempunyai tujuh orang anak, yakni:
Siti Murtasimah, Siti Syari’ah, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Siti
Muthmainnah, Siti Murtasiyah dan Siti Hafsyah.
Kecuali
versi-versi di atas, ada pula versi lain yang mengungkap Raden Rahmat
mempunyai tiga isteri, masing-masing: Nyi Ageng Manila, Nyi Ageng Bela
(kemenakan Arya Teja) dan seorang lagi tidak diketahui namanya. Dari
isteri pertama punya empat anak, yaitu: Sarifuddin, Makdum Ibrahim, Nyi
Ageng Maloko, dan seorang puteri yang dinikahkan dengan Sunan Kalijaga.
Dengan isteri kedua, punya dua anak: Hasyim Syahib Drajad dan
Muthmainnah. Dari isteri ketiga, empat orang anak, yakni: Murtosiyah,
Ratu Asyiqah, Alawiyah (Ibu Danang) dan Maulana Hasanuddin.
Mbah Bungkul
Warga
Kota Surabaya pasti mengenal nama Mbah Bungkul. Makamnya terletak di
Jalan Raya Darmo, tepatnya di Jalan Progo. Di sana ada tanah lapang yang
lazim disebut Taman Bungkul. Sedangkan makam Mbah Bungkul berada di
bagian timur taman yang dipagari, serta terlindung di balik tembok.
Selain makam Mbah Bungkul, di sana juga ada beberapa makam keluarga dan
pengikutnya.
Para
penziarah yang berkunjung ke Masjid Agung Ampel dan makam Sunan Ampel,
tidak jarang juga melakukan perjalanan ritual berkesinambungan ke Makam
Mbah Bungkul.
Nah, apa hubungan Sunan Ampel dengan Mbah Bungkul? Ternyata, Mbah Bungkul adalah besan Sunan Ampel.
Sahibul
hikayat, Mbah Bungkul semula bernama Ki Ageng Supa. Sewaktu masuk agama
Islam, namanya diganti menjadi Ki Ageng Mahmuddin. Ia mempunyai seorang
puteri bernama Siti Wardah.
Suatu
hari, Ki Ageng Mahmuddin berkeinginan menikahkan puterinya. Namun ia
belum mendapatkan jodoh. Untuk mencari jodoh puterinya itu, Ki Ageng
Mahmuddin bernazar melakukan sayembara. Uniknya, sayembara itu tidak
terbuka, tetapi hanya diungkapkan dalam hati Ki Ageng Mahmuddin.
Ki
Ageng Mahmuddin menghanyutkan satu buah delima ke Kalimas (Mungkin, di
pinggir sungai dekat Jalan Darmokali sekarang). Ketika melemparkan
delima itu ia mengucapkan nazarnya, siapa yang menemukan buah delima
itu, kalau ia laki-laki, maka akan diambil menjadi menantu yang akan
dinikahkan dengan Dewi Wardah.
Kebetulan
di bagian hilir sungai Kalimas (ya, kira-kira dekat Jalan Pegirian
sekarang), seorang santri Sunan Ampel yang sedang mandi menemukan buah
delima itu. Si santri menyerahkan buah delima itu kepada gurunya, Sunan
Ampel. Oleh Sunan Ampel buah delima itu disimpan.
Besoknya,
Ki Ageng Mahmuddin menelusuri bantaran Kalimas. Sesampainya di
pinggiran Kalimas dekat Ngampeldenta, ia melihat banyak santri mandi di
sungai. Ada keyakinan Ki Ageng Mahmuddin, bahwa yang menemukan buah
delima itu adalah salah satu di antara santri Sunan Ampel.
Tanpa
pikir panjang, Ki Ageng Mahmuddin menemui Sunan Ampel. Ia bertanya
kepada Sunan Ampel, apakah ada dari santrinya yang menemukan buah delima
yang hanyut saat mandi di Kalimas? Sunan Ampel menjawab ada, bahkan
delima itu ia yang menyimpannya setelah diserahkan oleh seorang santri.
Ki Ageng lalu mengungkapkan tentang nazarnya itu kepada Sunan Ampel.
Sunan
Ampel lalu mengatakan, santri yang menemukan buah delima itu bernama
Raden Paku. Maka sesuai dengan nazarnya, ia minta kepada Sunan Ampel
untuk sudi memperkenalkan laki-laki itu kepadanya dan sekaligus
diizinkan untuk dinikahkan dengan anaknya, Dewi Wardah.
Sunan
Ampel tidak dapat menolak, karena nazar wajib untuk dilaksanakan. Maka
disetujuilah pernikahan Raden Paku dengan Dewi Wardah.
Ada
keunikan dalam cerita ini, ternyata pada hari yang ditetapkan itu,
sebenarnya Sunan Ampel juga menikahkan puterinya Dewi Murtasiyah dengan
Raden Paku. Jadi, pada hari yang sama, Raden Paku menikah dengan dua
wanita. Pagi hari dengan Dewi Murtasiyah anak Sunan Ampel dan petang
harinya dengan Dewi Wardah anak Ki Ageng Mahmuddin alias Mbah Bungkul.
Begitulah
ceritanya, karena ada keterkaitan antara Ki Ageng Mahmuddin yang juga
dipanggil Mbah Bungkul itu dengan Sunan Ampel dalam hubungan
“perbesanan”, maka para penziarah ke kawasan Ampel, juga menyempatkan
diri berziarah ke makam Mbah Bungkul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar