Nah,
siapakah sebenarnya Sunan Ampel itu? Seperti telah diungkap sebelumnya,
umumnya penduduk Kota Surabaya adalah para pendatang dan perantau dari
daerah lain di Nusantara ini. Bahkan, tidak sedikit pula yang berasal
dari manacanegara. Selain dari Eropa, juga banyak yang berasal dari
Timur Tengah, khususnya Arab, India dan Cina. Sunan Ampel, juga
pendatang. Ia merantau atau hijrah ke Surabaya, menetap dan kemudian
wafat sebagai “bunga bangsa” di Kota Pahlawan ini..
Nama Sunan Ampel abadi di Surabaya. Karya dan buah
tangannya sebagai warga Surabaya masih ada sampai sekarang. Sunan Ampel
adalah waliullah, ulama besar yang menumbuhkembangkan ilmu yang sangat
bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat. Jadi, Surabaya patut
berbangga, sebab sunan yang dituakan di antara Walisongo adalah Sunan
Ampel.
Apabila
ditelusuri jejak Walisongo di Surabaya cukup banyak, namun yang menonjol
ada di tiga tempat. Pertama: kawasan Ampel, kedua: Masjid Rahmat dan
ketiga: komplek Makam Mbah Bungkul.
Kawasan
Ampel, sebuah kawasan permukiman di sekitar Masjid Agung Ampel di daerah
Pegirian, Surabaya Utara. Di sini selain berdiri masjid peninggalan
Sunan Ampel, di sekitarnya terdapat makam Sunan Ampel bersama para
pengikutnya. Kawasan Ampel ini sudah sejak lama dijadikan obyek “wisata
suci” atau ziarah oleh masyarakat dari berbagai daerah di Nusantara,
juga dari luar negeri.
Masjid
Ampel ini juga biasa dijadikan tempat start untuk kegiatan ziarah
Walisongo. Setelah mengunjungi masjid dan makam Sunan Ampel, perjalanan
dilanjut ke delapan walisongo lainnya. Makam Maulana Malik Ibrahim dan
makam Sunan Giri di Gresik, makam Sunan Drajat di Lamongan, makam Sunan
Bonang di Tuban, makam Sunan Kudus di Kudus, makam Sunan
Muria di lereng Gunung Muria, makam Sunan Kalijaga di Demak dan makam
Sunan Gunung Jati di Cirebon.
Siapa Sunan Ampel
Pendapat
umum mengatakan, bahwa Sunan Ampel bukan orang Jawa, tetapi orang Campa
dan ayahnya berasal dari Arab. Ini memang bukan sekedar “tutur tinular”,
melainkan ada beberapa sumber tertulis yang mendukung. Pendapat umum
itu juga dikuatkan oleh keterangan G.W.J.Drewes di depan rektor dan para
dosen IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta bulan November 1971.
Ada
beberapa versi tentang siapa dan dari mana asal Sunan Ampel. Dalam
penelitian sejarah yang dilakukan para ahli, diakui bahwa informasi
tertulis dan prasasti yang digoris di atas batu atau lempengan logam
tentang Sunan Ampel sama sekali tidak ada.
Saat
dilangsungkan Festival Walisongo I di Surabaya, Juni 1999 lalu, Yayasan
Festival Walisongo menerbitkan buku Jejak Kanjeng Sunan – Perjuangan
Walisongo. Pada buku itu, juga dijelaskan, para ahli tidak pernah
menemukan naskah atau manuskrip yang ditulis pada masa hidupnya atau
waktu yang agak dekat sesuadah wafatnya sampai sekarang.
Manuskrip yang mengisahkan serba sedikit tentang Sunan Ampel, baru ada pada zaman Kerajaan Mataram, seperti: “Babad Tanah Jawi”.
Naskah yang lain umumnya ditulis pada abad ke 18 dan 19. Padahal kalau
kita telusuri, Sunan Ampel hidup pada abad 14 atau sekitar tahun 1331 M –
1400 M. Pada “Babad Ngampeldenta” yang naskah aslinya disimpan di Yayasan Panti Budaya di Jogjakarta baru selesai diturun-tulis (titi tamat noeroen soengging) pada Hari Rabu Legi, tanggal 16 Jumadil Akhir 1830, bertepatan dengan 2 Oktober 1901.
Drs.H.Sjamsudduha
yang menjadi narasumber tentang Sunan Ampel dalam buku Jejak Kanjeng
Sunan – Perjuangan Walisongo, menyebutkan manuskrip yang bercerita
tentang Sunan Ampel yang agak rinci, ada dua naskah tulisan “pegon” yang ditemukan di Dusun
Badu, Desa Wanar, Kecamatan Pucuk dan Desa Drajat, Kecamatan Paciran,
Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Selanjutnya naskah itu disebut: naskah
Badu Wanar dan naskah Drajat.
Kecuali itu, juga ada Babad Risakipun Majapahit Wiwit Jumenengipun Prabu Majapahit Wekasan Dumugi Demak Pungkasan yang disimpan di Perpustakaan Reksopustoko Surakarta, Jawa Tengah.
Para ahli
sepakat menyebut nama lain Sunan Ampel adalah Raden Rahmat. Saat berusia
20 tahun, waktu itu sekitar tahun 751 H atau 1351 M, pria ini datang ke
pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit. Tempat Raden Rahmat ini, ada
tiga versi. Ada yang menyatakan ia kelahiran Cempa (Jeumpa), Aceh, ada
yang menyebut Campa, sebuah kota di Kamboja, Indocina. Bahkan ada yang
cukup ekstrim, Sunan Ampel diakui keturunan Cina dengan nama Bong Swie
Ho. Dalam kronik Sam Po Kong di bawah angka tahun 1445, dinyatakan Bong Swie Ho adalah cucu Haji Bong Tek Keng dari Campa.
Babad Para Wali
Berdasarkan
naskah Badu Wanar dan naskah Drajat, dikisahkan, Raden Rahmat datang ke
Majapahit bersama kakaknya, bernama Raja Pandhita dan Raden Burerah
anak Raja Kamboja. Raden Rahmat dan Raja Pandhita adalah anak kandung
seorang guru agama Islam bernama Maulana Ibrahim Asmara dengan isterinya
Candrawulan, dari Tulin, Campa.
Kedatangan
Raden Rahmat dan Raja Pandhita yang diantar Raden Burerah ke pusat
Majalapahit adalah untuk menemui bibinya Dewi Murtiningrum yang menjadi
permaisuri raja Brawijaya. Setelah sampai dan menetap di Majapahit,
mereka diperlakukan sebagai putera raja Brawijaya. Saat berada di sini,
mereka ditertawakan karena melaksanakan shalat, sebab waktu itu
Majapahit belum mengenal Islam. Raja Brawijaya tidak melarang mereka
menunaikan ibadah secara Islam. Merekapun diminta menetap di Majapahit
dan diberi jabatan sebagai tumenggung.
Raden
Rahmat menikah dengan Raden Ayu Candrawati anak dari Arya Teja, Mantri
di Tuban. Sedangkan Raja Pandhita kawin dengan Raden Ayu Maduretna anak
Arya Babirin dari Arosbaya, Madura.
Raden
Rahmat yang kemudian menetap di kampung Ampeldenta, mempunyai lima orang
anak, yakni: Siti Syari’ah, Siti Muthmainnah, Siti Hasyfah, Ibrahim dan
Raden Qasim. Raden Rahmat, juga menikah dengan puteri Ki Bang Kuning,
bernama Mas Karimah dan mempunyai dua orang anak perempuan, Mas
Murtabiyah dan Mas Murtasimah.
Babad Tanah Jawi I
Versi Babad Tanah Jawi (Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen
1647 – W.L.Olthof), disebutkan, raja Cempa kedatangan orang seberang
bernama Makdum Ibrahim Asmara. Ia memohon agar raja masuk Islam.
Permintaan itu dikabulkan raja dan juga diikuti seluruh rakyatnya.
Raja Cempa
menikahkan anak perempuannya dengan dengan Makdum Ibrahim dan mempunyai
dua orang putera, Raden Rahmad dan Raden Santri. Sedangkan Raja Cempa
ini juga punya anak laki-laki bernama Raden Burerah.
Raden
Rahmat bersama adiknya minta izin kepada raja yang juga kakeknya itu
untuk pergi ke Majapahit menemui bibinya. Raja Cempa mengizinkan asal
ditemani oleh Raden Burerah. Mereka bertiga sampai di Majapahit dan
bertemu dengan Raja Brawijaya. Raden Rahmat kemudian menikah dengan
puteri Tumenggung Wilatikta, bernama Gede Manila dan bertempat tinggal
di Ampeldenda.
Raden
Burerah dan Raden Santri menikah dengan puteri Arya Teja. Yang tua
dengan Raden Santri dan adiknya dengan Raden Burerah. Mereka berdua
bertempat tinggal di Gresik.
Babad Tanah Jawi II
Babad
Tanah Jawi (BTJ) versi ke dua ini disebut BTJ Galuh Mataram – Suwito
Santoso, bercerita seperti berikut. Ada seorang sultan di negeri Arab
yang masih keturunan Nabi Muhammad SAW, mempunyai anak laki-laki bernama
Syekh Ibrahim. Suatu hari Ibrahim diperintah kakaknya pergi ke Tanah
Jawa untuk mengislamkan penduduknya. Setelah berlayar, sampai di negeri
Cempa dan bertemu raja Cempa. Dia menetap di sini dan diberi gelar Syekh
Wali Lanang dan ia berhasil mengajak raja Cempa masuk Islam. Syekh Wali
Lanang kemudian dikawinkan dengan puterinya yang muda, adik Ratu
Darawati yang kawin dengan raja Brawijaya V di Majapahit.
Kebetulan
datang seorang kemenakan Ratu Darawati dari Cempa, bernama Raden Rahmat
putera Syekh Ibrahim alias Wali Lanang. Prabu Brawijaya, mengangkat
Raden Rahmat sebagai Sunan di Ngampel, sehingga ia dikenal sebagai Sunan
Ampel. Waktu itu Prabu Brawijaya mengizinkan rakyat Majapahit memasuki
agama Islam, asal tidak ada paksaan, tetapi baginda sendiri tidak mau
memeluk agama Islam.
Babad Ngampeldenta
Manuskrip
yang disimpan di Panti Budaya, Jogjakarta dengan nomor PB A.200,
sekarang disimpan di Perpustakaan Museum Negeri Sonobudoyo Jogjakarta.
Alih hurufnya dilakukan Dr.Th.Pigeaud tahun 1939. Di sini diungkapkan,
Sang Pandhita, yakni Maulana Ibrahim Asmara menikah dengan Retna Sujinah
dari Cempa, juga beristeri dari Aceh. Dengan Ratna Sujinah ia punya dua
putera laki-laki diberi nama Raden Rahmat. Adiknya yang lahir kemudian
diambil anak oleh isteri yang dari Aceh dan diberi nama Raden Atmaja.
Raden
Rahmat dengan dua pengiringnya, berbekal dua surat menghadap raja
Majapahit. Surat pertama menyatakan bahwa yang datang adalah kemenakan
sang prameswari, dan surat yang satu lagi berisi ajakan Syekh Maulana
Ibrahim Asmara beserta isteri dan raja Cempa, serta ibundanya, agar raja
Majapahit berkenan memeluk Islam. Apabila raja belum berkenan, ayunda
saja yang masuk Islam. Surat itu juga memberitahu, bahwa Raden Rahmat
telah paham dan menguasai segala ilmu, sehingga patut menjadi ulama.
Raden
Rahmat diberi tempat tinggal di Ngampel dengan pengikut yang banyak.
Delapan ratus keluarga atau somah beralih masuk Islam. Raja tidak
melarang rakyatnya pindah agama, terserah kesukaannya sendiri.
Ada satu lagi versi tentang siapa Raden Rahmat atau Sunan Ampel, diungkapkan dalam Babad Risakipun Majapahit Wiwit Jumenengipun Prabu Majapahit Wekasan Dumugi Demak Pungkasan. Cerita seperti di bawah ini.
Madum
Ibrahim di Cempa berputera dua orang laki-laki, yang tua bernama Raden
Rahmat, yang muda bernama Raden Santri, putera raja Cempa bernama Raden
Burerah. Raden Rahmat bersama adiknya pergi ke Pulau Jawa untuk
menjenguk bibinya di Majapahit. Sesampai di Majapahit menghadap raja dan
mereka diterima dengan sangat senang. Mereka di Majapahit sudah
setahun.
Raden
Rahmat menikah dengan puteri Arya Teja. Puteri Arya teja yang kedua
menikah dengan Raden santri, yang tengah menikah dengan Raden Burerah.
Putera Arya teja yang bungsu Tumenggung Wilatikta.
Raden
Rahmat ditempatkan di dusun Ngampeldernta, dan diberi gelar Sunan
Ngampeldenta. Raden Santri dan Raden Burerah diberi sebidang tanah di
Gresik sebagai dusun tempat tinggal.
Raden
Rahmat memohon kepada raja agar memeluk agama Islam. Raja Brawijaya
belum ingin masuk agama Islam, tetapi semua orang Jawa yang ingin masuk
agamaq Islam tidak dibatasi, terserah mereka yang menyenanginya.
Adipati
Bintara terus datang di Ngampel, menghadap Sunan Ngampelgadhing. Tatkala
itu di negeri Surabaya sudah Islam semua. Adipati Bintara memohon izin
untuk menyerbu negara Majapahit, karena sekalipun yang memerintah negara
itu orangtuanya sendiri, tetapi diua kafir, tidak mau mengikuti Islam.
Sunan Ampel melarang, karena ayahandanya tidak pernah mencegah orang
masuk Islam. Beliau memberi kebebasan dan memberi sejumlah orang untuk
ikut pindah dan menjadi muslim dan mukmin. Di Surabaya mereka membangun
agama.
Apa
jeleknya paduka raja. Adapun beliau belum mau masuk agama Islam, karena
Allah belum menghendakinya. Jangan mendahului takdir, hendaklah menerima
kehendak Allah. Adipati Bintara mendengar dengan takzim. Adipati
Bintara hanya dua hari di Surabaya, terus pulang ke Demak.
Tatkala
Sunan Ngampeldenta wafat, para wali semuanya datang. Mereka memandikan
dan mensalatkannya. Para wali sama menangis. Sesuadah dimakamkan di
Ngampelgadhing, Sunan Giri hadir dan ditetapkan menjadi imam (pemimpin)
para wali. Sunan Bonang juga hadir. Trah (kerabat keturunan)
Ngampelghading banyak yang menjadi waliyullah, seperti Murya dan
Ngudung. Begitulah negara Demak makin ramai dan para wali sepakat untuk
mendirikan kerajaan.
Manuskrip
asli dari babad di atas disimpan di Reksopustoko, Solo; alih huruf
Martodarmono pada tahun 1988, halaman 8-9, 40 dan 57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar